Jumat, 22 Oktober 2010

ANTARA KUNTILANAK, POCONG, SUNDEL BOLONG DAN KAWAN-KAWAN


Sering saya merasa kasihan dengan hantu-hantu asli Indonesia. Bukannya sok moralis sama mahluk-mahluk itu ya... [soalnya kalo ketemu sendiri juga pastinya bakalan lari tunggang langgang, boro-boro ngasih belas kasihan. Haha...] cuma saya agak sedikit prihatin dengan menurunnya wibawa mereka sebagai jawaranya nakut-nakutin orang.

Jika dulu nenek buyut mendongeng tentang Kuntilanak yang suka menghisap darah di ubun-ubun anak kecil adalah jurus ampuh untuk membikin saya gak berani keluar rumah malam-malam, sekarang hal tersebut justru jadi bahan tertawaan saya bersama kawan-kawan di dalam bioskop. Penyebabnya sederhana, produser-produser berpikiran cetek telah menyulap kesakralan Kuntilanak, dkk mjd bahan lelucon ke dalam film horror murahan.

Actually, kontribusi film horror dalam menjatuhkan citra hantu-hantu malang itu sudah terjadi semenjak dahulu. Terhitung sejak film "Beranak Dalam Kubur" melambungkan nama Suzanna sebagai legenda, industri layar lebar seolah tak habis-habisnya mengeksplor kemasyhuran dedemit negeri ini. 
Dari masa ke masa, dari generasi ke generasi,,, 
Sebut saja Malam Satu Syuro, Pembalasan Ratu Laut Selatan, Perkawinan Nyi Blorong, Legenda Sundel Bolong... itu sekelumit dari puluhan judul film horror di tahun 7'0-an. Zaman itu kemudian beralih ke eranya Kiki Fatmala, Shelly Marcelina, Ayu Yohana, dan aktris-aktris seksi lainnya di mana bumbu seksualitas mendominasi produksi layar lebar untuk memenuhi permintaan pasar pada medio '80-an... contohnya: Lukisan Berlumur Darah, Susuk Nyi Roro Kidul, Misteri Janda Kembang. Lucunya, idealisasi akan film horror yang memancing kita buat jejeritan tidak dijumpai di sini, sebaliknya film justru didominasi kamera sang sutradara dengan tubuh-tubuh bohay dalam balutan bikini. Cihuyyy punya tentunya! Hohoho... sesampainya di angkatan terkini  pun [yaitu era 2000-an] Sundel Bolong dan kawan-kawan masih setia menyinggahi bioskop-bioskop kesayangan kita. 
Untuk kategori pocong misalnya, produser Indonesia telah memproduksi bermacam2 judul : sebut saja Pocong 1 (yang dilarang edar oleh LSF), Pocong 2, Pocong 3, Pocong Jalan Blora, Pocong Kamar Sebelah, Tali Pocong Perawan, dst (yang kalo ditulis satu-satu niscaya bakalan kehabisan waktu), dilanjutkan dedemit yang kerap dikenal sebagai urband legend disekitar kita seperti Jelangkung, Setan Kepala Buntung, Hantu Jeruk Purut, Suster Ngesot, Si Manis Jembatan Ancol, sampai ke golongan setan yang merupakan hasil formulasi jenius sang script writer, seperti TIREN (Mati Kemaren), TIRAN (Mati di Ranjang), Setan Budeg, Hantu Jamu Gendong, Hantu Puncak Datang Bulan (gak mutu banget kan!?, masa bangsa Hantu masih kena menstruasi. Haha...), lalu di kategori Kuntilanak, Rizal Mantovani mbikin fim tentang setan berambut panjang yang suka nangkring di atas pohon itu sampai jadi trilogi, dan lantas diekorin sama Om Shanker BSc dengan mbikin Terowongan Merah: Kuntilanak Merah,. Ckckckck,,,, and for the last tentu saja yang paling gres adalah filmnya Tera Patrick. bintang porno asal Amrik yang didapuk buat jadi pemeran utama film "Rintihan Kuntilanak Perawan"

Pertanyaannya, apakah film-film itu sudah memenuhi semua elemen untuk bisa disebut sebagai FILM YANG BAGUS? Jawabannya : JAUH PANGGANG DARI API.

Malam Satu Syuro era tahun '80-an

Susuk Nyi Roro Kidul, era tahun '90-an

Tali Pocong Perawan, era tahun 2000-an

Rintihan Kuntilanak Perawan, era tahun 2010
Singkat kata, itulah awal degradasi dedemit malang itu... wibawa suci mereka sebagai tukang nakut-nakutin orang langsung jatuh sejatuh-jatuhnya [gak pake nawar]

Kalo paradigma berpikir bos-bos PH berperut buncit itu masih money oriented dengan mbikin film gak bermutu seperti itu, dapat dipastikan dunia perfilman kita bakal cuma jadi bahan tertawaan orang luar. Kita masih tertinggal jauh dengan India atau China (negara Asia yang udah pernah nembus nominasi bergengsi di Academy Awards)

Tapi sebagai penikmat film, tentu saya tidak mau berpikir naif dengan menggeneralisir semua film karya anak negeri adalah sama. Sebab masih ada beberapa film yang bisa kita acungi jempol.  Salah satu yang layak direkomendasikan buat ditonton adalah RUMAH DARA, film horror bergenre slasher ini cukup memacu adrenalin penonton dengan banyaknya pembantaian sadis dan adegan mutilasi. 


Awalnya film garapan The MO Brothers ini adalah part dari antologi film pendek Takut: The Faces of Fear berjudul DARA. Banyak respons positif terhadap film ini. Setelah beberapa kali mjd jawara dalam banyak festival, akhirnya pada tahun 2009 dibuatlah ekstensi dari film pendek tersebut ke layar lebar dengan durasi 95 menit. 




Rumah Dara menyusul film Pintu Terlarang yang memperoleh penghargaan terhormat sebagai film terbaik. Ini membuktikan bahwa harapan itu masih ada. Semoga perfilman Indonesia bisa benar-benar bangkit untuk berdiri sejajar dengan film di negara maju yang berorientasi pada kualitas, bukan komersial semata. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar